Tahlil dan Kearifan Lokal
Oleh HB. Arafat - “ Laa IlaHa IllaAllah ” kami lantunkan sampai banyak kali, sebanyak kali di Kabupaten Demak. Barangkali karena banyak kalinya, banyak pelaku ngising di kali. Maka tak mengherankan jika bupatinya bikin baliho besar yang isinya sudah saya bahas di esaimini sebelumnya. Kalau engkau bingung maksudnya, saran saya, coba engkau buka atau tengok-tengok judul lainnya. Intinya, “ ojo ngising sembarangan ”. “ Laa IlaHa IllaAllah ”, jangan jijik dengan kata “ ngising ” ya, karena “ ngising ” itu salah satu proses yang religius juga. Coba engkau pikir deh, siapa yang mengatur jadwal ngising -mu? Bapakmu, Ibumu, Istrimu, atau engkau sendiri? Kalau engkau tidak bisa menjawab, mari kita pikir lagi, siapa yang menjadwal ngising-nya Prabu Hayamwuruk? Patih Gajah Mada? Istrinya atau staf kerajaan-nya? Tidak bisa jawab kan? Kalau engkau bisa menjawab, pastilah jawabannya Allah. Jadi “ Laa IlaHa IllaAllah ” adalah persetujuan bahwa tidak ada apa-apa selain Allah. Hanya Allah yan